Langsung ke konten utama

Unggulan

WISATA TANGKAHAN LANGKAT

  WISATA TANGKAHAN sesi foto dengan gajah, tidak gratis ya Jarak Medan ke Tangkahan di Langkat sejauh dua jam tiga puluh menit. Dari Medan ke Tangkahan jalan yang ditempuh cukup baik namum beberapa tempat  atau semakin dekat lokasi jalannya kurang baik karena mobil berjalan lambat. Kebun sawit jadi penanda kita kita akan masuk ke dalam lokasi dan pada hari libur ada antrian untuk membayar biaya masuk area saya lupa biayanya tapi sangat murah namun ini bukan biaya semuanya. Ada beberapa tempat yang bisa dikunjungi di lokasi ini yaitu a. Wisata Sungai Batang Serangan setelah  memarkirkan mobil (ada biaya parkir) kami makan siang lebih dahulu. Banyak warung makan di lokasi ini. Setelah kami turun ke sungai. Karena kami datang saat liburan maka sungai dipenuhi dengan orang. Jika ingin menikmati sungai dengan lebih lama dapat menyewa lapak yang saat liburan harganya naik. Dalam foto dibawah ada beberapa tenda birru itu adalah lapak. di lapak sudah disediakan tikar untuk duduk dan manruh bar

Mendaki Pusuk Buhit Via Huta Ginjang

 

Pusuk Buhit  pukul 07.00


Medan – Tele - Pangururan

Sabtu siang, pukul 12.30 tanggal 31 Oktober 2021 saya dan keluarga menuju Samosir. Kami tidak berhenti untuk waktu yang lama karena harus melewati Tele. Jalur Tele tidak pernah kami lewati saat malam hari. Kami tiba di Tele pukul 18.00 Wib. Di Menara Tele banyak mobil pribadi yang singgah, biasanya untuk menghangatkan badan dengan minuman panas atau sekalian makan. Kami beranikan diri untuk istirahat sebentar minum teh panas serta mencari toilet. Setelah itu kami lanjut dengan jalan yang basah karena hujan jadi harus perlahan. Banyak juga mobil yang naik maupun turun di jalur yang menurut saya harus ekstra hati – hati.

Kami tiba di penginapan Saulina Resort, letaknya Pangururan dipinggir danau Toba, di bawah kaki gunung Pusuk Buhit, dengan kamar tanpa air conditioner (ac) karena daerahnya dingin di malam hari. Kami berencana menginap di sini beberapa hari. Isteri saya akan nginap di penginapan ini sementara saya, Izi dan Usu akan mendaki ke gunung Pusuk Buhit dan akan bermalam di puncak gunung itu yang tingginya 1972 Mdpl.

Pangururan – Huta Ginjang

Pagi hari sekitar pukul 08.30 setelah sarapan pagi di penginapan kami bertiga berangkat ke gunung dengan lebih dahulu membeli makan siang ke arah kota Samosir. Tele, Pangururan dan Pusuk Buhit terletak di kabupaten Samosir. Kami menuju kampung yang bernama Huta Ginjang tempat dimana ada jalur pendakian ke gunung dan bisa menitipkan kendaraan di rumah penduduk. Kami dapatkan informasi ini dari beberapa tulisan tentang pendakian di Pusuk Buhit.

Untuk menuju Huta Ginjang harus melewati kantor Geopark dan terus ke atas. Sampai di persimpangan kiri (jalan beraspal) dan kanan (jalan cor semen) kami mengambil ke kanan hingga di ujung aspal. Kami mencari bantuan google untuk mengecek apakah Huta Ginjang berada di jalur yang kami lalui. Ternyata terdata di google dengan waktu 9 menit menggunakan mobil ditambah sedikit jalan kaki. Jalur jalannya memang kurang meyakinkan apalagi saat musim hujan dimana bekas ban mobil yang lewat tidak akan nampak ditambah jalan masih berbatu dan kurang terawat.

Sesuai panduan google  kami menelusuri jalan berbatu sambil menikmati pemandangan perbukitan, lereng dan persawahan tanpa terasa sampai di Huta Ginjang. Di rumah pertama kami segera memarkir mobil dan meminta ijin untuk parkir sekaligus meminta kesediaan agar mereka menjaganya. Kami parkir di pinggir jalan dan meminta izin pemilik rumah di depan lokasi parkir kami. Menurut tetangga yang lewat biasanya mobil diparkir di rumah pertama sebelah kanan. Tapi kali ini pemilik rumah sedang tidak di rumah jadi kami parkir di tempat lain saja. Tidak ada perjanjian soal biaya parkirnya kemungkinan diberikan secara sukarela saja.

Saya menanyakan jalur ke gunung kepada pemilik rumah ia menyampaikan bahwa kami akan ditemani anaknya untuk menunjukkan jalur yang akan kami lalui. Saya bertanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke puncak, menurutnya bagi yang sudah terbiasa seperti mereka hanya butuh 1 (satu ) jam saja. Wah menarik juga informasi bapak itu jika ditambah waktu sampai 2 – 3 jam waktu tempuh kami akan lebih cepat juga dari informasi yang kami dapatkan butuh waktu 5 – 7 jam untuk mencapai puncak pusuk buhit. Tapi sebaiknya kita lihat saja nanti.

Jalur Huta Ginjang


Kami diantar oleh Sugi dan temannya, Sugi adalah anak dari bapak tadi. Kami melewati jalan perkebunan masyarakat. Di beberapa tempat nampak bekas terbakar bisa jadi disengaja, selain menghemat waktu kerja petani biasanya hasil  pembakaran sebagai pupuk. Kami sempat ditanya mau ke puncak yang mana  karena ternyata ada beberapa puncak. Saya jawab saja puncak tempat orang berdoa. Sampai di satu titik Sugi memberitahukan agar kami menaiki jalan menuju bukit dengan beberapa pesan yaitu berjalan lalu akan menemui pohon pinus dan pertigaan lalu dari pertigaan itu akan dijumpai helipad lalu menuju ke puncak Pusuk Buhit. Informasi tentang gunung Pusuk Buhit sebagai tempat berdoa sudah menjadi kisah yang melekat dengan gunung ini. Banyak nama – nama pejabat local maupun nasional disebut pernah mengunjungi petilasan di gunung ini.

Awal perjalanan kami salah arah yang seharusnya mendaki ke atas malah kami lurus ke depan semakin ke lembah. Penyebabnya karena kami tidak melihat jalur jalan yang tepat menggambarkan bekas orang melewati tempat itu. Setelah 50 meter kami mencoba untuk balik kembali ke petunjuk Sugi tadi yaitu ke arah pohon cemara yaitu dibagian atas yang nampak jauh dan kelihatan sulit karena kemiringan 45 derajat. Tidak lama kami akhirnya menemukan jalur jalan menuju pohon cemara dibagian atas itu. Jalur jalan lebih mirip merupakan jalur air dari puncak bukit ke bawah. Kami berjalan lambat karena Izi mengalami kesulitan karena terasa berat di bagian pahanya, punggung yang berat karena beban serta ketakutannya berjalan karena kemiringan bukit. Kami sampai di pohon cemara yang kami lihat tepat pukul 13.00 atau sekitar 3 jam perjalanan. Kami istirahat makan karena melihat masih jauh dari puncak bukit dimana nampak pohon cemara lainnya. Sambil beristirahat makan siang kami melihat di sisi lain nampak dua kelompok orang, kelompok yang satu sedang mengambil jalan turun sementara kelompok yang lain sedang mengambil jalan naik. Setelah cukup beristirahat kami bergegas naik lagi karena hujan sudah mulai turun disertai kabut. Hujan dan kabut bisa membuat kami lebih lelah karena hawa dingin serta kebasahan. Tidak lama setelah itu Usu sangat bergembira karena ia menemukan jalan berbatu seperti bekas jalan roda empat. Ia juga yang ingat pesan Sugi bahwa kami akan menemukan pertigaan yang mengarah ke Helipad. Di tempat ini kami beristirahat sekaligus saling menyemangati bahwa tujuan sudah dekat. Walaupun berat jalur di bagian huta ginjang ini sangat menarik dimana kami bisa menikmati pembandangan danau toba di sisi kiri dan menikmati pemandangan perbukitan di belakang kami. Perbukitan di belakang kami semakin kami mendaki ke tempat yang lebih tinggi maka perbukitan di belakang kami menjadi kelihatan lebih rendah. Namun keduanya tetap indah menawar rasa berat membawa beban dan tarikan nafas yang lumayan berat.

Kami kemudian berjalan menyusuri jalan berbatu dan ujungnya ternyata menibakan kami pada bagian atas dari danau kecil atau sejenis rawa dan tebakan kami bahwa tidak jauh di tempat tersebut ada Helipad yang ditandai dengan dataran semen cukup luas. Nampak dari jauh beberapa orang laki – laki dan perempuan di pondok dekat helipad. Untuk mencapai danau dan helipad kami harus mengambil jalur menurun melewati ilalang yang cukup tinggi.  Setelah melewati ilalang kami menyusuri tepian danau kecil tersebut lalu melihat ada tempat persembahan di bagian ujung. Jalan dari tempat persembahan menuju helipad kami harus melalui anak tangga kecil dengan jalan bercornblock dan harus melewati batu besar tempat persembahan lainnya. Laki – laki dan beberapa perempuan yang kami jumpai sebelumnya berpapasan dengan kami dan menyampaikan bahwa mereka akan beracara. Dari jauh saya melihat mereka menggunakan ulos dalam ritual yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang batak.

Helipad

Kami tiba di helipad bersamaan dengan rombongan anak muda yang baru naik yang terlihat dari bukit huta ginjang tadi. Kami sama – sama beristirahat di tempat ini. Di sekitar helipad ada pondok yang bisa dipakai untuk berteduh, di dekatnya mungkin tempat persembahan atau tempat ritual peribadahan terbuka yang dipagari dengan peringatan jangan merusak. Tempat ritualnya terlihat seperti batang kelapa yang ditanam ke tanah lalu daun kelapa yang mengering serta tanaman lain yang sudah kering terikat di batang kelapa itu. Ada 2 tiang bendera dan saat itu masih terpasang bendera batak yaitu bendar dengan warna Merah di bagian atas, warna Putih dibagian tengah  dan Hitam dibagian bawah. Ada toilet juga di bagian ini. Ada  sumber air yang menurut rombongan anak muda tadi bisa diminum tapi terlebih dahulu dimasak. Bukan pertama kali rombongan anak muda ini ke Pusuk Buhit jadi mereka agak terbiasa dengan sumber air ini. Bahkan menurut salah satu dari mereka di kolam penampungan air ini pernah ada ikan masnya. Kolam penampungan ini adalah kolam buatan dari semen dan di sisinya nampak 2 piring persembahan.

Menuju Puncak Pusuk Buhit

Rombongan anak muda yang berjumlah 3 orang laki – laki dan 1 orang perempuan ini ternyata berasal dari Kisaran. Dari mereka kami dapat informasi bahwa puncak Pusuk Buhit yang kami sama – sama tuju berada di atas kami dengan jarak 40 menit. Kami akhirnya kembali berangkat bersama. Namun jelang 100 meter saya mengalami keram dibagian kedua paha sehingga harus beristirahat. Setelah saya rasa sakitnya sudah hilang kami melanjutkan kembali dan terpisah dari rombongan pemuda Kisaran. Dalam perjalan berjumpa dengan rombongan lain yang sedang istirahat dalam perjalanan pulang. Hebat juga menurut saya karena mereka mendaki hanya menggunakan sendal bahkan sendal jepit dan beberapa malah hanya nyeker tanpa alas kaki walaupun berjalan setengah jinjit dan sangat berhati – hati berjalan di atas batu. Dari penampilan mereka baru selesai melaksanakan ritual. Sampai ke puncak ternyata batu – batu ini  menunjukkan adanya jalur kendaraan roda 4 hanya tidak dirawat. Dibagian ini kami beristirahat kembali bersama para pemuda Kisaran tadi lalu berfoto sambil melihat pemandangan bukit yang kami lihat di atas huta ginjang dari tempat yang lebih tinggi. 


Setelah dirasa cukup kami kembali mengambil jalur memotong yang dipenuhi alang – alang melalui tempat persembahan berikutnya yaitu 8 penjuru mata angin dalam tradisi orang batak. Penampakannya berupa batu besar dan tinggi di tengah lalang dibagian bawahnya ada tiga tempat persembahan. Saat kami lewat yang ada hanyalah rokok satu puntung di tiap tempat persembahan. Dibagian ini Izi kembali mengalami kesulitan karena harus menapaki jalur pendakian tanah yang licin dan terjal sementara hujan dan kabut masih ada. Akhirnya kami tertinggal lagi dari rombongan anak muda Kisaran. Sambil beristirahat kami mendengar salah seorang pemuda sholat di bagian atas menurut kami itu menandakan bahwa mereka sudah tiba dipuncak. Mengingatkan kami juga untuk bersyukur pada Tuhan untuk pencapaian hari ini. Karena melihat arah ke puncak masih terjal pendakiannya kami memilih mengambil jalur bebatuan yang ada walaupun nampaknya memutar mengelilingi puncak.
 

Akhirnya kami tiba dibagian tanah datar terlihat bekas bakaran dan rombongan pemuda Kisaran sudah membangun tenda dan mengajak kami mendirikan tenda di dekat mereka. Kami mendirikan tenda di sisi utara dengan pemandangan danau Toba di tepian Pangururan dan pulau Samosir. Kami mendirikan tenda, menyiapkan makan malam serta beristirahat menikmati dingin serta hujan dan angin sepanjang malam. Jadi sepanjang malam kami terkurung di dalam tenda saja. Ada toilet disiapkan dibagian puncak walaupun ala kadarnya. Bangun pagi kami menunggu matahari terbit tapi matahari terhalang oleh awan tinggi di bagian timur. Namun kami bersyukur karena masih diberi kesempatan melihat “lautan awan” di atas Pangururan dan Samosir. Saya rasa keindahan inilah yang diburu oleh semua pendaki di Pusuk Buhit. Paginya kami harus turun, lebih dahulu melihat tempat persembahan atau parsaktian yang berupa bangunan setinggi dada ditengahnya ditempatkan persembahan beberapa mangkuk putih disertai daun sirih, jeruk purut. Selama berada di perjalanan maupun di puncak kami tidak menemukan ayam atau binatang apapun yang katanya dikaitkan dengan persembahan tersebut.



Bagi kami, sebelum naik gunung Pusuk Buhit, kami hanya mengetahui gunung tersebut identik dengan tempat doa, tempat penyembahan, bahkan mencari pesugian. Jadi sangat kuat kesan mistis, seram dan angkernya gunung ini. Karena itu menurut saya orang Batak akan lebih senang naik gunung di tanah karo di banding ke Pusuk Buhit. Mungkin juga kalau naik ke Pusuk Buhit akan disangka melakukan ritual khusus. Setelah kami mendaki  Pusuk Buhit harusnya ada cerita yang berimbang bahwa menuju puncak banyak pemandangan yang bagus dan indah untuk dinikmati serta istilah “negeri di atas awan” bisa juga dinikmati di Pusuk Buhit.




Semoga kisah ini membantu buat para pendaki maupun yang ingin mengetahui situasi terbaru gunung Pusuk Buhit. Mauliate !!








Komentar

Postingan Populer