Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mendaki Pusuk Buhit Via Huta Ginjang
Medan – Tele - Pangururan
Sabtu siang, pukul 12.30 tanggal
31 Oktober 2021 saya dan keluarga menuju Samosir. Kami tidak berhenti untuk
waktu yang lama karena harus melewati Tele. Jalur Tele tidak pernah kami lewati
saat malam hari. Kami tiba di Tele pukul 18.00 Wib. Di Menara Tele banyak mobil
pribadi yang singgah, biasanya untuk menghangatkan badan dengan minuman panas
atau sekalian makan. Kami beranikan diri untuk istirahat sebentar minum teh
panas serta mencari toilet. Setelah itu kami lanjut dengan jalan yang basah
karena hujan jadi harus perlahan. Banyak juga mobil yang naik maupun turun di
jalur yang menurut saya harus ekstra hati – hati.
Kami tiba di penginapan Saulina
Resort, letaknya Pangururan dipinggir danau Toba, di bawah kaki gunung Pusuk
Buhit, dengan kamar tanpa air conditioner (ac) karena daerahnya dingin di malam
hari. Kami berencana menginap di sini beberapa hari. Isteri saya akan nginap di
penginapan ini sementara saya, Izi dan Usu akan mendaki ke gunung Pusuk Buhit
dan akan bermalam di puncak gunung itu yang tingginya 1972 Mdpl.
Pangururan – Huta Ginjang
Pagi hari sekitar pukul 08.30
setelah sarapan pagi di penginapan kami bertiga berangkat ke gunung dengan lebih
dahulu membeli makan siang ke arah kota Samosir. Tele, Pangururan dan Pusuk
Buhit terletak di kabupaten Samosir. Kami menuju kampung yang bernama Huta
Ginjang tempat dimana ada jalur pendakian ke gunung dan bisa menitipkan kendaraan di
rumah penduduk. Kami dapatkan informasi ini dari beberapa tulisan tentang
pendakian di Pusuk Buhit.
Untuk menuju Huta Ginjang harus
melewati kantor Geopark dan terus ke atas. Sampai di persimpangan kiri (jalan
beraspal) dan kanan (jalan cor semen) kami mengambil ke kanan hingga di ujung
aspal. Kami mencari bantuan google untuk mengecek apakah Huta Ginjang berada di
jalur yang kami lalui. Ternyata terdata di google dengan waktu 9 menit
menggunakan mobil ditambah sedikit jalan kaki. Jalur jalannya memang kurang
meyakinkan apalagi saat musim hujan dimana bekas ban mobil yang lewat tidak
akan nampak ditambah jalan masih berbatu dan kurang terawat.
Sesuai panduan google kami menelusuri jalan berbatu sambil
menikmati pemandangan perbukitan, lereng dan persawahan tanpa terasa sampai di
Huta Ginjang. Di rumah pertama kami segera memarkir mobil dan meminta ijin
untuk parkir sekaligus meminta kesediaan agar mereka menjaganya. Kami parkir di
pinggir jalan dan meminta izin pemilik rumah di depan lokasi parkir kami.
Menurut tetangga yang lewat biasanya mobil diparkir di rumah pertama sebelah
kanan. Tapi kali ini pemilik rumah sedang tidak di rumah jadi kami parkir di
tempat lain saja. Tidak ada perjanjian soal biaya parkirnya kemungkinan
diberikan secara sukarela saja.
Saya menanyakan jalur ke gunung
kepada pemilik rumah ia menyampaikan bahwa kami akan ditemani anaknya untuk
menunjukkan jalur yang akan kami lalui. Saya bertanya berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk sampai ke puncak, menurutnya bagi yang sudah terbiasa seperti
mereka hanya butuh 1 (satu ) jam saja. Wah menarik juga informasi bapak itu
jika ditambah waktu sampai 2 – 3 jam waktu tempuh kami akan lebih cepat juga
dari informasi yang kami dapatkan butuh waktu 5 – 7 jam untuk mencapai puncak
pusuk buhit. Tapi sebaiknya kita lihat saja nanti.
Jalur Huta Ginjang
Kami kemudian berjalan menyusuri
jalan berbatu dan ujungnya ternyata menibakan kami pada bagian atas dari danau
kecil atau sejenis rawa dan tebakan kami bahwa tidak jauh di tempat tersebut
ada Helipad yang ditandai dengan dataran semen cukup luas. Nampak dari jauh
beberapa orang laki – laki dan perempuan di pondok dekat helipad. Untuk
mencapai danau dan helipad kami harus mengambil jalur menurun melewati ilalang
yang cukup tinggi. Setelah melewati
ilalang kami menyusuri tepian danau kecil tersebut lalu melihat ada tempat
persembahan di bagian ujung. Jalan dari tempat persembahan menuju helipad
kami harus melalui anak tangga kecil dengan jalan bercornblock dan harus
melewati batu besar tempat persembahan lainnya. Laki – laki dan beberapa
perempuan yang kami jumpai sebelumnya berpapasan dengan kami dan menyampaikan
bahwa mereka akan beracara. Dari jauh saya melihat mereka menggunakan ulos
dalam ritual yang menunjukkan bahwa mereka adalah orang batak.
Helipad
Menuju Puncak Pusuk Buhit
Setelah dirasa cukup kami kembali mengambil jalur memotong yang dipenuhi alang – alang melalui tempat persembahan berikutnya yaitu 8 penjuru mata angin dalam tradisi orang batak. Penampakannya berupa batu besar dan tinggi di tengah lalang dibagian bawahnya ada tiga tempat persembahan. Saat kami lewat yang ada hanyalah rokok satu puntung di tiap tempat persembahan. Dibagian ini Izi kembali mengalami kesulitan karena harus menapaki jalur pendakian tanah yang licin dan terjal sementara hujan dan kabut masih ada. Akhirnya kami tertinggal lagi dari rombongan anak muda Kisaran. Sambil beristirahat kami mendengar salah seorang pemuda sholat di bagian atas menurut kami itu menandakan bahwa mereka sudah tiba dipuncak. Mengingatkan kami juga untuk bersyukur pada Tuhan untuk pencapaian hari ini. Karena melihat arah ke puncak masih terjal pendakiannya kami memilih mengambil jalur bebatuan yang ada walaupun nampaknya memutar mengelilingi puncak.
Akhirnya kami tiba dibagian tanah datar terlihat bekas bakaran dan rombongan pemuda Kisaran sudah membangun tenda dan mengajak kami mendirikan tenda di dekat mereka. Kami mendirikan tenda di sisi utara dengan pemandangan danau Toba di tepian Pangururan dan pulau Samosir. Kami mendirikan tenda, menyiapkan makan malam serta beristirahat menikmati dingin serta hujan dan angin sepanjang malam. Jadi sepanjang malam kami terkurung di dalam tenda saja. Ada toilet disiapkan dibagian puncak walaupun ala kadarnya. Bangun pagi kami menunggu matahari terbit tapi matahari terhalang oleh awan tinggi di bagian timur. Namun kami bersyukur karena masih diberi kesempatan melihat “lautan awan” di atas Pangururan dan Samosir. Saya rasa keindahan inilah yang diburu oleh semua pendaki di Pusuk Buhit. Paginya kami harus turun, lebih dahulu melihat tempat persembahan atau parsaktian yang berupa bangunan setinggi dada ditengahnya ditempatkan persembahan beberapa mangkuk putih disertai daun sirih, jeruk purut. Selama berada di perjalanan maupun di puncak kami tidak menemukan ayam atau binatang apapun yang katanya dikaitkan dengan persembahan tersebut.
Bagi kami, sebelum naik gunung Pusuk Buhit, kami hanya mengetahui gunung tersebut identik dengan tempat doa, tempat penyembahan, bahkan mencari pesugian. Jadi sangat kuat kesan mistis, seram dan angkernya gunung ini. Karena itu menurut saya orang Batak akan lebih senang naik gunung di tanah karo di banding ke Pusuk Buhit. Mungkin juga kalau naik ke Pusuk Buhit akan disangka melakukan ritual khusus. Setelah kami mendaki Pusuk Buhit harusnya ada cerita yang berimbang bahwa menuju puncak banyak pemandangan yang bagus dan indah untuk dinikmati serta istilah “negeri di atas awan” bisa juga dinikmati di Pusuk Buhit.
Semoga kisah ini membantu buat
para pendaki maupun yang ingin mengetahui situasi terbaru gunung Pusuk Buhit.
Mauliate !!
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar